Connect with us

BISNIS

Menggingat Kembali Janji Jokowi Dan Hari HAM Sedunia

detikakurat.comMenggingat Kembali Janji Jokowi Dan Hari HAM Sedunia.Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menuntaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Menurut dia, kasus HAM berat akan diselesaikan dengan prinsip-prinsip keadilan.

“Pemerintah berkomitmen untuk menegakkan, menuntaskan dan menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Dengan prinsip-prinsip keadilan bagi korban dan prinsip keadilan bagi yang diduga menjadi pelaku HAM berat,” jelas Jokowi saat berpidato dalam acara Hari HAM Sedunia Tahun 2021 yang disiarkan secara virtual, Jumat (10/12/2021).

Dia menyampaikan bahwa pemerintah melalui Jaksa Agung telah mengambil langkah untuk melakukan penyidikan umum terhadap pelanggaran HAM berat. Hal ini dilakukan pemerintah pasca terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Salah satu kasus yang dilakukan penyidikan yakni, kasus Paniai di Papua pada tahun 2014. Kejaksaan Agung akhirnya membentuk Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai, Papua pada 3 Desember 2021.

“Berangkat dari berkas Komnas HAM, Kejaksaan tetap melakukan penyidikan umum untuk menjamin terwujudnya prinsip-prinsip keadilan dan penegakan hukum,” ujar Jokowi.

Selain itu, Jokowi mengaku telah meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengedepankan langkah-langkah edukasi dan persuasif dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dia meminta agar tak ada kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat.

“Jangan ada kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat,” kata Jokowi.

Dia menyadari bahwa perkembangan industri 4.0 menuntut semua pihak untuk mengantisipasi beberapa isu HAM. Jokowi pun memahami banyak masyarakat yang gelisah dan khawatir dengan sanksi pidana UU ITE saat menyuarakan pendapatnya.

“Kapolri telah menindaklanjuti perintah yang saya instruktsikan untuk mengedepankan langkah-langkah edukasi dan persuasif dalam perkara ITE,” jelasnya.

Jokowi menyampaikan dirinya telah memberikan amnesti terhadap Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang dijerat pasal UU ITE. Meski begitu, dia mengingatkan semua pihak untuk tetap bertanggung jawab saat berpendapat di depan publik.

“Saya juga ingatkan kebebasan berpendapat harus dilakukan secara bertanggung jawab kepada kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih luas,” ujar dia.

Untuk itu, Jokowi menekankan komitmen Indonesia untuk terus memajukan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), baik pada level kawasan maupun global. Komitmen itu salah satunya diwujudkan dalam penyelenggaraan Bali Democracy Forum (BDF) yang digelar Rabu, 9 Desember 2021, untuk tahun ke-14.

“Ini adalah tahun ke-14 pelaksanaan Bali Democracy Forum. Ini adalah bentuk komitmen Indonesia memajukan demokrasi dan HAM di kawasan dan global. Our commitment toward democracy goes beyond our borders,” jelas Jokowi dikutip dari siaran persnya, Jumat (10/12/2021).

Jokowi menjelaskan, BDF merupakan forum antarpemerintah untuk berbagi perspektif mengenai demokrasi tanpa saling menyalahkan. BDF juga forum bertukar praktik terbaik bagaimana memperkokoh demokrasi dan mengelola tantangan yang dihadapi.

“Kita yakin demokrasi adalah sebuah nilai universal. Namun aspirasi, nilai, dan kekhususan masyarakat perlu dipelihara. Ini adalah homegrown democracy. BDF juga melibatkan pemuda, pebisnis, dan masyarakat sipil yang merupakan pilar penting demokrasi,” kata dia.

Di samping itu, Indonesia bersama negara ASEAN lainnya juga mendorong kemajuan demokrasi di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memotori pembentukan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights dan secara konsisten wakil Indonesia dalam komisi tersebut adalah dari kelompok masyarakat madani.

Selain itu, Indonesia menjadi inisiator dari pelaksanaan ASEAN Human Rights Dialogue, sejenis Universal Periodic Review (UPR) di ASEAN. Setelah hampir sembilan tahun terhenti, tahun ini dialog tersebut dihidupkan kembali oleh Indonesia.

“Secara sukarela, Indonesia memajukan diri sebagai negara pertama yang melakukan reviu. Indonesia terus mendorong pemajuan demokrasi dan HAM di OKI,” ujar Jokowi.

Di Myanmar, Indonesia berkomitmen untuk terus berkontribusi agar kesepakatan ASEAN mengenai five points of consensus dapat diimplementasikan. Jokowi meyakini bahwa demokrasi di Myanmar akan dapat dipulihkan melalui dialog inklusif.

Sementara itu, di Afghanistan, Indonesia akan terus berkontribusi bagi pemberdayaan perempuan demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Afghanistan.

“Indonesia meyakini, pemajuan demokrasi, HAM, dan good governance bisa tumbuh dan berkembang jika kerja sama dikedepankan. Dukungan semua pihak dibutuhkan. Aspirasi seluruh elemen perlu didengar. Tidak boleh ada yang ditinggalkan,” tutur Jokowi.

PR Pelanggaran HAM Berat

Setidaknya ada 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia yang masih belum mendapat keadilan. Berkas dari sebagian besar kasus tersebut selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung dalam 18 tahun terakhir karena dianggap kurang bukti. Dikutip dari laman www.amnesty.id, ini beberapa di antaranya:

1. Peristiwa 1965-1966

Setelah upaya kudeta yang gagal pada 30 September 1965, militer Indonesia yang dipimpin Mayor Jenderal Suharto melancarkan serangan sistematis terhadap tersangka komunis dan sejumlah kelompok kiri lainnya. Pihak berwenang Indonesia menelantarkan jutaan korban dan anggota keluarga korban peristiwa 1965 dan 1966 mengalami salah satu pembunuhan massal terburuk.

2. Penembakan Misterius 1982-1985

Dalam peristiwa ini, terjadi pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penghilangan orang secara paksa. Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo mengatakan jumlah korban mencapai 10 ribu orang. Korban adalah mereka yang ditetapkan sebagai penjahat oleh pemerintah saat itu, maupun petani dan pegawai negeri sipil karena bernama sama dengan mereka yang dicatat sebagai penjahat.

3. Peristiwa Talangsari 1989

Penyerbuan militer terhadap warga sipil di wilayah perkampungan Talangsari, Lampung. Ratusan warga ditangkap, disiksa, ditahan, dan dituduh makar.

4. Peristiwa Rumah Geudong, Aceh 1989-1998

Peristiwa ini terjadi saat Aceh dalam status Daerah Operasi Militer, ketika militer mengamankan wilayah sebagai reaksi atas berbagai insiden bersenjata antara militer, anggota Gerakan Aceh Merdeka, maupun warga sipil. Panglima ABRI menggelar operasi untuk memeriksa orang yang dianggap berhubungan atau mengetahui kelompok yang dianggap melakukan makar. Laporan Komnas HAM menyatakan, terjadi kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang dan penghilangan orang secara paksa.

5. Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998

Sejumlah mahasiswa dan aktivis dari berbagai organisasi hilang setelah menunjukkan sikap kritis terhadap rezim Orde Baru. Kejahatan penghilangan paksa adalah sebuah alat teror negara melalui aparatur keamanan dan dilakukan di luar proses hukum.

6. Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Akibat peristiwa ini, Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden. Sepanjang kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Medan, dan Surakarta, terjadi penjarahan, penghancuran toko dan rumah, penganiayaan, pembunuhan, dan kekerasan seksual. Aparat keamanan mencoba mengendalikan keamanan dengan kekerasan. Para perusuh dihalau dengan rentetan senjata.

7. Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998 dan 1999

Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 adalah peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya.

Peristiwa Semanggi I pada 11-13 November 1998 menewaskan 17 warga sipil dan melukai setidaknya 109 orang. Saat itu, masyarakat berdemonstrasi bersama mahasiswa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada momen Sidang Istimewa untuk mendesak penghapusan dwifungsi ABRI dan pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999 menewaskan 11 orang mahasiswa dan melukai 217 orang. Saat itu, mahasiswa memprotes pengesahan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya yang dianggap memberi keleluasaan kepada tentara, yang diduga telah banyak melanggar HAM, untuk mengamankan negara dengan pendekatan militer.

Berkas penyelidikan tiga kasus ini dijadikan satu oleh Komnas HAM. Ketiga tragedi dianggap bertautan satu sama lain dalam konteks kebijakan pemerintah menghadapi gelombang demonstrasi menuntut Reformasi.

Ada bukti awal yang cukup untuk menyatakan tiga kasus ini adalah pelanggaran HAM berat: terjadi pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik secara terencana, sistematis, dan meluas.

8. Peristiwa Simpang KKA 1999

Peristiwa Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Pasukan militer menembaki kerumunan warga yang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe. Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan akibat diduga ditembak aparat militer setidaknya 23 orang. Setidaknya 30 warga sipil juga jadi korban penyiksaan oleh aparat.

9. Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003

Kasus Wasior terjadi pada 13 Juni 2001. Aparat Brimob Polda Papua menyerbu Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua akibat terbunuhnya 5 anggota Brimob dan seorang warga sipil di PT Vatika Papuana Perkasa. Dalam peristiwa itu tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa.

Kasus Wamena terjadi pada 4 April 2003 saat warga Papua sedang merayakan Paskah. Aparat melakukan penyisiran karena sebelumnya sekelompok masa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Saat penyerangan itu, dua anggota Kodim tewas. Dalam penyisiran ke 25 kampung, dilaporkan 9 orang tewas dan 38 orang luka berat.

10. Peristiwa Paniai 2004

Warga Paniai ditembak aparat gabungan TNI dan Polri kala memprotes pemukulan yang diduga dilakukan aparat militer terhadap dua anak. Empat orang tewas ditempat, 13 orang terluka dilarikan ke rumah sakit.

Kategori dan Regulasi

Banyak peristiwa yang mengundang perhatian karena kekejamannya atau karena melibatkan nama-nama terkenal. Sebagian besar pula kejadian itu masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia (HAM), namun belum tentu tergolong pelanggaran HAM berat.

Tragedi yang masuk kepada pelanggaran HAM berat, yaitu serangan terhadap hak asasi manusia secara sistematis atau meluas yang menyebabkan korban jiwa, dan menimbulkan kerugian fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya.

Lantas, apa aja yang termasuk pelanggaran HAM berat?

Menurut standar HAM internasional, ada empat jenis pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional atau Rome Statute of the International Criminal Court (ICC).

Empat kategori pelanggaran HAM berat tersebut yaitu:

1. Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu kejahatan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada warga sipil, yang tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan fisik dan mental. Bentuk perbuatannya dapat berupa:

– pembunuhan di luar hukum;

– penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat;

– penghilangan paksa;

– perbudakan dan praktik serupa perbudakan;

– deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;

– perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot setara;

– dan diskriminasi sistematis, khususnya berdasarkan ras, etnis, atau jenis kelamin, melalui aturan hukum dan kebijakan yang bertujuan mempertahankan subordinasi suatu kelompok.

2. Genosida, yaitu pembantaian brutal dan sistematis terhadap sekelompok suku bangsa dengan tujuan memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa tersebut. Bentuknya dapat berupa:

– pembunuhan anggota kelompok;

– penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat;

– sengaja menciptakan kondisi hidup yang memusnahkan;

– mencegah kelahiran;

– dan memindahkan anak-anak secara paksa.

3. Kejahatan perang, yaitu pelanggaran terhadap hukum perang, baik oleh militer maupun sipil. Bentuknya dapat berupa:

– menyerang warga sipil dan tenaga medis;

– perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, atau bentuk kekerasan seksual lain yang memiliki bobot yang setara;

– menyerang pihak yang telah mengibarkan bendera putih tanda menyerah.

4. Agresi, yaitu perilaku yang bertujuan menyebabkan bahaya atau kesakitan terhadap target serangan.

Dalam aturan hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menetapkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat.

Sementara khusus untuk perkara pelanggaran HAM berat, regulasi yang mengaturnya ada Statuta Roma, yaitu perjanjian internasional di bawah wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Sayangnya, sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma.

Di tingkat nasional, ada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur perlindungan HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatur pengadilan bagi kasus pelanggaran HAM.

Ada juga Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan berbagai undang-undang lainnya yang secara spesifik melindungi kita dari berbagai bentuk kejahatan yang bisa mengancam hak asasi kita.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in BISNIS