Connect with us

NEWS

LSM Sebut Fenomena Massa Bayaran Anomali Demokrasi Indonesia

Detik Akurat – Lembaga swadaya masyarakat Publish What You Pay (PWYP) Indonesia turut menyoroti praktik demokrasi yang terjadi di Indonesia. Mereka turut mengulas fenomena massa bayaran yang tetap ada di tengah praktik demokrasi yang dijalankan sejak reformasi 1998.

Menurut Direktur PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, peristiwa yang terjadi belakangan ini sangat menyedihkan bagi kehidupan demokrasi ke depan. Dia mencontohkan bagaimana massa demonstrasi pro revisi Undang-undang KPK (RUU KPK), yang pada beberapa hari kemarin berdatangan tapi tidak mengetahui persoalan pokok yang menjadi materi aksi tersebut.

“Itu sebenarnya anomali ya menurut saya. Di sana kebebasan warga negara dan suaranya jadi terhalangi karena bayarannya itu dan itu demokrasi yang tidak sehat,” kata Maryati saat konferensi pers di Warunk Upnormal, Jakarta Pusat, Minggu (15/9).

Terkait massa bayaran, Maryati memandang kalau hal tersebut menghambat kebebasan warga negara dalam menyuarakan pendapat secara merdeka. Akan tetapi, ujarnya, itulah ironi yang sedang dihadapi demokrasi Indonesia saat ini, yakni mengeksploitasi kondisi ekonomi kalangan tertentu demi kepentingan satu pihak.

“Dengan cara-cara seperti itu, kelompok-kelompok ekonomi menengah ke bawah dan sebagainya akan mudah dimobilisasi untuk kepentingan yang tidak demokrasi substantif,” kata Maryati.

Di sisi lain, Maryati mengatakan demokrasi Indonesia pascareformasi justru mengalami penurunan kualitas. Hal itu terlihat dari tiga indikator utama, yakni kondisi parlemen yang terburu-buru dalam melakukan revisi undang-undang, minimnya partisipasi publik dalam perencanaan kebijakan, serta transparansi dan akuntabilitas kebijakan.

“Tapi kemudian yang kedua adalah situasi demokrasi substantif yang masih sangat challenging. Bukan hanya challenging, tapi juga ada indikasi terjadi penolakan atau bahkan penurunan kualitas demokrasi,”

Dia mengakui Indonesia dibanding negara lain masih terbilang baik karena memiliki pondasi kuat terkait keterbukaan informasi publik dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 2008. Namun, menurut dia, kualitas pemenuhan transparansi masih menjadi tantangan tersendiri.

“Karena dalam proses legislasi kita tidak melihat– walaupun parlemen saat ini menjadi open parliament di tingkat global, tapi keterbukaan beberapa data dan pembahasan beberapa proses legislasi tidak cukup progresif,” katanya.

Baca Juga:

Novel Baswedan soal RUU KPK: Koruptor Berutang Budi ke Jokowi
Revisi UU MD3, DPR-Pemerintah Sepakati 10 Kursi Pimpinan MPR

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in NEWS