Connect with us

TRAVEL

Jejak Kampung Kerak Telor di Selatan Jakarta

Detik Akurat – Ruwet, adalah kata pertama yang terlintas dalam pikiran ketika melintasi daerah Tegal Parang saat jam kerja. Jalan di sini memang merupakan jalan pintas bagi pengemudi kendaraan yang ingin pergi ke Kuningan atau Mampang. Namun gagasan jalan pintas di Jakarta telah menjadi humor tersendiri saat ini, karena tampaknya kota ini tidak lagi memberikan jalan pintas kepada warganya.

Di tepi Jalan Mampang Prapatan XI, Tegal Parang, yang berkapasitas dua mobil, ada warung yang dijaga oleh seorang lelaki tua berusia 70-an. Ia terlihat sedang melayani pembeli. Bukan makanan pokok atau es kopi susu kekinian yang dijualnya, tapi arang.

Pembeli sebagian besar adalah pedagang Kerak Telor, yang telah turun temurun di Tegal Parang.

Lelaki penjaga toko bernama Bunyamin, atau biasa dipanggil Amin. Dia membenarkan soal Tegal Parang yang menjadi desa para pedagang Kerak Telor.

Identitas Tegal Parang mirip dengan Tegal yang menjadi pemilik desa warteg, Garut yang menjadi desa tukang cukur rambut, atau Blambangan (Banyuwangi) yang menjadi desa tukang vermak.

Amin mengaku sudah menjual Kerak Telor sejak 1975.

Dia masih ingat pertama kali menjual Kerak Telor di Pekan Raya Jakarta (PRJ) sementara masih berada di Monumen Nasional (Monas), sebelum PRJ kembali berpindah lokasi di Senayan dan Kemayoran.

Saat itu dia masih remaja, dia belum genap 20 tahun ketika ayahnya mengajaknya untuk berdagang Kerak Telor.

Ayah Amin bukan generasi pertama pedagang kerak telor di Tegal Parang, masih ada dua generasi lagi di keluarganya yang pertama kali membawa gerobak dan duduk mengipasi tungku Kerak Telor.

Ketika ditanya tentang asal mula kawasan ini sebagai Kampung Kerak Telor, Amin tidak bisa menjawab banyak.

Selain kurangnya pengarsipan sejarah, Amin juga mengaku telah mendengar banyak legenda simpang siur tentang sejarah Tegal Parang yang belum bisa dia konfirmasi.

“Dulu sih engkong (kakek dalam bahasa Betawi) juga udah ikutan dagang Kerak Telor. Di zaman itu juga udah lumayan banyak yang dagang. Kalau yang pertama banget dagang kagak ngarti deh sape,” ujarnya.

“Tapi emang udah lama sih tempat ini jadi kampungnye pedagang Kerak Telor. Di Mampang 10 sampe 12 aje yang dagang sekarang 80-an (orang). Dulu mah lebih banyak lagi.”

Namun Amin masih ingat pengalaman pertamanya diajak oleh ayahnya untuk berdagang Kerak Telor di Monas, karena pada saat itu ia harus berjalan melalui daerah Kuningan yang pada waktu itu masih merupakan lokasi peternakan sapi.

Bandingkan suasananya sekarang, bahkan ada kamar hotel yang harganya Rp5 juta per malam di sana.

“Dulu kalo mau pada dagang di Monas, pada jalan kaki dari sini. Lewat kandang sapi di Kuningan, terus lewatin Menteng, Gondangdia, nyampe dah Monas. Gelap jalannya dulu, sekarang mah udah rame bener,” ujarnya sembari tertawa.

“Habis dari Monas terus pindah Gambir. Di sono dagang ga enak gegara kucing-kucingan sama polisi. Akhirnya pindah ke Stadion Persija di Menteng. Habis Stadionnya dipindah, ya kebanyakan dagang di acara-acara aja,” lanjutnya.

Saat ini Amin udah tidak berdagang Kerak Telor, tetapi ia masih berhubungan dengan Kerak telor; untuk memasok peralatan untuk berdagang kerak telor, mulai dari gerobak, arang, wajan, dan lainnya.

Dia ingat terakhir kali dia memperdagangkan kerak telor di arena Jakarta Fair (PRJ) tahun lalu, barang dagangannya tidak laku karena lokasinya yang tidak terlalu strategis.

Menurutnya, berdagang di PRJ membutuhkan modal besar untuk menyewa tempat, semakin strategis semakin mahal.

“Sekarang kalau gak salah Rp10 juta, tapi kalo mau yang tempatnya keliatan orang bisa sampe Rp15 juta,” kata Amin.

Pengakuan Amin sepertinya mengungkap kesan bahwa manajer PRJ Kemayoran lebih suka mempertahankan keuntungan daripada sejarah.

Tapi itu cerita lain bagi para pedagang Kerak Telor yang bisa mendapatkan tempat yang strategis untuk membuka kios mereka.

Dalam sehari, satu porsi Kerak Telur yang dijual seharga Rp. 30 ribu, bisa menjual setidaknya 100-200 porsi. Jumlah ini dapat berlipat ganda selama akhir pekan.

Udin, salah satu penjaga tempat parkir di Tegal Parang yang diwawancarai secara terpisah hari itu. Dia mengatakan ada sesama penjaga parkir yang bisa mengantongi laba ratusan juta setelah menjual kerak telor di PRJ Kemayoran.

“Pernah denger cerita dari dia ada juga tuh tukang Kerak Telor yang naik Alphard. Langsung pada kaya dah abis dagang di PRJ. Beli rumah, beli motor. Tapi abis itu bokek lagi… Ya namanya juga orang Betawi, ga bisa pegang uang,” katanya sembari tertawa.

Ketika ditanya mengapa di daerah Tegal Parang jarang ada pedagang Kerak Telor yang berjualan, Amin mengatakan bahwa sebagian besar pedagang dari Tegal Parang menjual di tempat-tempat yang lebih ramai.

Dia memberi contoh bahwa jika akhir pekan, para pedagang Kerak Telor akan berangkat ke Setu Babakan, sebuah daerah yang digagas sebagai Desa Betawi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

“Dulu sih orang kalau ke Jakarta, salah satu oleh-olehnya ya Kerak Telor. Pengen sih kalau besok-besok Tegal Parang bisa disamperin orang yang mau nyari Kerak Telor,” kata Amin.

“Taon kemaren kan udah ada Festival Kampung Kerak Telor tuh, semoga aje taon ini ada lagi dan makin kedengeran,” harapnya.

Baca Juga:

Yuk Ajak Keluarga Berwisata ke Saloka Theme Park Jawa Tengah
Masjid Muhammad Cheng Ho Akan Dibangun di Bagansiapiapi

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in TRAVEL